Fuel Cell Teknologi Ramah Lingkungan Yang Tepat Dalam Keadaan Darurat
Bencana seperti gempa bumi selalu datang tiba-tiba dan tidak bisa diramalkan. Gempa besar yang melanda Aceh beberapa tahun lalu dan gempa besar yang baru terjadi di Jepang setidaknya melumpuhkan jaringan listrik yang menjadi sumber tenaga hampir semua perangkat modern saat ini.
Tidak terkecuali pendukung komunikasi seluler yang saat itu pasti sangat dibutuhkan jasanya. Yang paling umum, tenaga cadangan menggunakan jenis baterai dengan kapasitas terbatas, setelah itu juga akan mati jika pasokan listrik tidak pulih.
Sementara itu, kondisi darurat untuk negeri ini bukan hanya bergantung pada bencana saja. Pasokan listrik dari PLN yang tidak andal, sering mati tiba-tiba, membuat layanan darurat menjadi perhatian serius bagi para operator seluler.
Selain baterai, mesin diesel kecil dan sumber listrik tenaga alternatif, seperti panel sel surya dan kincir angin, juga banyak digunakan. Namun, dari semua tenaga cadangan yang paling menarik adalah pembangkit fuel-cell atau sel bahan bakar yang ternyata sudah diterapkan di negeri ini.
Operator 3 (baca: Tri) milik PT Hutchison CP Telecommunication membuat gebrakan dengan memasang fuel-cell untuk 472 BTS yang mengoperasikan jaringannya. Ini merupakan jumlah sel hidrogen terbesar di kawasan Asia Tenggara saat ini.
”Pengoperasian BTS bertenaga hidrogen ini mencakup wilayah di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Proses konvergensi penggunaannya sudah 80 persen berjalan dan diperkirakan akhir bulan ini akan selesai,” kata Manjot Mann, Presiden Direktur Tri, dalam peluncuran beberapa waktu lalu.
Pembangkit energi sangat ramah lingkungan yang dibangun Tri secara bertahap sejak 2009 merupakan awal yang baik. Meski sementara masih untuk cadangan, nantinya juga akan mampu menjadi energi utama jika infrastruktur jaringan hidrogen sudah memungkinkan.
Ramah lingkungan
Kelebihan dari pembangkit bahan bakar ini adalah unsur ramah lingkungan yang tinggi, selain keuntungan lain. Hasil reaksi kimia antara gas hidrogen dan oksigen dari udara yang menghasilkan listrik hanya berupa uap air.
”Penggunaan sel hidrogen ini bukan hanya tanpa polusi, tetapi juga tidak menimbulkan suara sehingga lebih disukai tetangga. Selain itu, pemeliharaan juga mudah dan tidak perlu sering- sering dilakukan karena tidak ada komponen bergerak seperti diesel,” kata Benoit Hansen, Chief Technical Officer Tri, dalam perbincangan dengan Kompas.
Selain itu, pemakaian perangkat ini juga tidak banyak memakan tempat seperti halnya sel surya.
”Untuk tenaga angin juga kurang ideal, seperti di daerah Pulau Jawa sulit mendapatkan angin yang cukup,” kata Hansen yang didampingi Mustafa Kapasi (Head of Marketing Tri).
Yang menarik, sel hidrogen ini mampu menghasilkan daya yang cukup besar dibandingkan energi alternatif lainnya dan bisa memberikan cadangan listrik yang lebih tahan lama. Mungkin investasi awal lebih mahal, tapi dalam pengoperasiannya nanti biayanya akan menjadi lebih murah, antara lain karena penghematan biaya perawatan.
Hanya memang solusi positif dalam mengurangi dampak lingkungan ini belum mendapat dukungan pemerintah secara nyata. Belum ada insentif khusus bagi yang menerapkan energi alternatif yang ramah lingkungan, kecuali hanya kata-kata sangat mendukung saja.
Energi seperti sel bahan bakar ini memiliki rentang pengembangan yang luas, mulai dari kebutuhan penyetruman ulang gadget sampai kebutuhan industri. Jepang termasuk negara yang agresif mengembangkan fuel-cell untuk kebutuhan charger gadget, bahkan secara lokal sudah dikomersialkan.
Dalam waktu dekat tidak tertutup kemungkinan teknologi ini segera dipasarkan untuk kebutuhan cadangan listrik rumah tangga. Setidaknya bisa mengurangi ketergantungan pada pasokan listrik yang tidak stabil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar